Diceritakan bahwa Iwan (Ihsan Tarore) adalah seorang pemuda penyendiri yang hidup seorang diri di New York, Amerika Serikat. Setelah mengalami peristiwa perampokan di sebuah terowongan kereta bawah tanah, Iwan termangu dan mulai menghadirkan kembali kenangan tentang seseorang yang membawanya menengok kembali ke masa lalu, tentang cinta keluarga yang menyelamatkan semuanya.
Iwan adalah anak lelaki yang tumbuh besar bersama keluarganya yang sederhana di sebuah kampung di kaki Gunung Panderman, di rumah berukuran 6x7 meter. Ayah Iwan (Alex Komang) adalah seorang sopir angkot yang sangat mengharapkan agar Iwan tumbuh menjadi lelaki tangguh yang membantu mencari penghidupan untuk keluarganya, namun Iwan adalah sosok yang berbeda dari yang diharapkan ayahnya. Iwan adalah seorang anak yang sangat cerdas dalam belajar, terutama matematika, dan bermimpi untuk membangun kamar sendiri yang tidak kecil seperti rumahnya yang sekarang. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang terbatas, membuat Iwan bahkan tak memiliki kamar sendiri. Ayah Iwan tak bisa mengingat tanggal lahirnya, sementara ibunya tidak tamat Sekolah Dasar. Ia tumbuh besar bersama empat saudara perempuan.
Pendidikanlah yang membentangkan jalan keluar dari penderitaan. Dengan kegigihan, anak Kota Apel, Malang dapat bekerja di "The Big Apple", New York. Sepuluh tahun mengembara di kota paling kosmopolit itu membuatnya berhasil mengangkat harkat keluarga sampai meraih posisi tinggi di salah satu perusahaan top dunia.
Makna sosial yang dapat kita petik :
Dalam keadaan terhimpit sekalipun selalu bersyukur, dalam film ini kita tau bahwa iwan kecil hanya ingin bercita - cita memiliki kamar sendiri sangat sederhana bukan, dibanding kita dari kecil minta ini itu yang selalu dituruti. Dia selalu sabar dan tak menuntut karena sadar akan ekonomi orang tuanya serta kebutuhan dari ke tujuh saudaranya yang mesti ditanggung oleh bapaknya yang hanya sebagai sopir.
Selalu belajar, tidak putus asa. Menyadari bahwa ia tak bisa sekuat dan setangguh ayahnya. Iwan bekerja keras melalui otaknya. Ia bersekolah berusaha untuk mendapat kan beasiswa, hitung-hitung bisa mengurangi beban keluarganya sampai ia sarjana.
Sukses di perantauan tak membuatnya puas diri. Ia terus belajar dan bekerja dengan teliti dan seksama hingga akhirnya ia ditarik ke perusahaan asing sampai mendapatkan posisi tertinggi.
Di perantauan selama 10 tahun tak membuatnya lupa dengan kampung halaman. Padahal kariernya sedang dalam puncaknya, ia memilih untuk pulang ke indonesia demi membangun negeri. Anak bangsa yang mulia, yg tak lupa dengan tanah airnya.
No comments:
Post a Comment