A. Sejarah Masuknya Islam di Nusantara
Perkembangan agama Islam di Indonesia berlangsung sangat cepat. Hal ini tidak terlepas dari peranan para saudagar muslim, ulama, dan mubalig. Dengan penuh semangat mereka menyebarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat setempat. Nilai-nilai ajaran Islam tersebut disampaikan melalui perdagangan, sosial, dan pendidikan. Demikian halnya dengan peran para ulama di Jawa yang disebut dengan wali Songo.
1. Peranan Saudagar Muslim dalam Penyebaran Agama Islam
Menurut sejarahnya, proses masuknya agama Islam ke Indonesia belum dapat dipastikan waktunya. Beberapa sejarahwan menyebutkan abad ke-7 sebagai awal masuknya Islam. Akan tetapi, pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Berdasarkan penelitian para ahli, agama Islam dibawa dan dikembangkan oleh para saudagar muslim dari Gujarat, Arab, dan Persia. Ajaran Islam ini diterima oleh masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir pantai utara. Dengan demikian, melalui para saudagar inilah agama Islam mulai berkembang pesat yang ditandai adanya kerajaan-kerajaan Islam di pesisir pantai.
Dengan berbagai upaya dan perjuangan yang dilakukan oleh para saudagar muslim tersebut, kehadiran Islam di Nusantara bukan hanya berkenan di kalangan masyarakat bawah, melainkan juga menyentuh masyarakat kelas atas, seperti kaum bangsawan, tokoh masyarakat, kepala suku, dan para uleebalang (ketua adat).
Perjuangan para saudagar muslim tidak berhenti sampai di situ. Mereka terus berjuang dan tak kenal lelah menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam pada masyarakat hingga berhasil. Kesuksesan mereka dalam menyiarkan dan mengembangkan agama Islam dapat terlihat dengan munculnya bandar-bandar perdagangan yang besar dan sangat ramai dikunjungi oleh para pedangang dari dalam dan luar negeri.
Penyebaran Islam dimulai dari pesisir kemudian tersebar ke daerah yang terletak di pedalaman. Masyarakat di pedalaman terkenal teguh pada kepercayaan dan tradisi nenek moyangnya, tetapi karena kesabaran dan kebijaksanaan mereka mampu menarik masyarakat pedalaman untuk memeluk agama Islam.
2. Peranan Wali Songo dan Ulama dalam Penyebaran Agama Islam
Selain para pedangang, faktor lain yang memiliki jasa besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia adalah ulama dan mubalig. Penyebaran agama Islam khususnya di Jawa dikembangkan oleh sejumlah wali. Untuk mengoordinasikan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para wali tersebut, dibentuklah sebuah organisasi atau dewan dakwah yang disebut Wali Songo (ulama sembilan) yang beranggotakan sembilan orang wali.
Wali adalah seseorang yang mempunyai kepribadian baik dan dianggap dekat dengan Allah swt, serta mempunyai kemampuan atau kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang wali adalah orang yang selalu dijaga oleh Allah swt, dan senantiasa berbakti kepada-Nya.
Wali songo mengembangkan agama Islam antara abad ke-14 sampai abad ke-16 M. Dalam buku Babad Tanah Jawi dikatakan bahwa dalam berdakwah para wali ini dianggap sebagai sekelompok mubalig untuk daerah penyiaran tertentu. Selain dikenal sebagai ulama, mereka juga berpengaruh besar dalam pemerintahan. Oleh karena itu, mereka diberi gelar sunan atau susuhunan (junjungan).
Berikut ini Wali Songo yang berperan menyebarkan agama Islam :
a. Sunan Gresik (Sunan Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim (Maulana Magribi), berasal dari wilayah Magribi (Afrika Utara) ia lebihdikenal dengan nama Sunan Gresik karena selama ± 20 tahun ia berhasil mencetak kader dakwah di Gresik. Ia berdakwah secara intensif dan bijaksana. Meskipun bukan orang Jawa tapi ia mampu mengatasi keadaan masyarakat setempat dan menerapkan metode dakwah yang menarik. Diantara upayanya yaitu menghilangkan kasta dalam masyarakat.
b. Sunan Ampel (Maulana Rahmatullah)
Sunan Ampel memulai dakwahya dari pesantren yang didirikan di Ampel Denta (dekat Surabaya). Sunan Ampel dikenal sebagai wali yang tidak setuju adat istiadat seperti mengadakan sesaji atau selamatan oleh rakyat Jawa waktu itu. Namun para wali berpendapat bahwa hal itu tidak dapat dihilangkan dengan segera, melainkan dengan cara memasukkan nilai-nilai Islami di dalamnya. Sunan Ampel sebagai penerus cita-cita Sunan Gresik.
c. Sunan Bonang (Maulana Makhduhm Ibrahim)
Sunan Bonang termasuk wali yang menyebarkan agama Islam dengan cara menyesuaikan kebudayaan Jawa, seperti wayang dan gamelan. Untuk itu ia menciptakan gending-gending yang memiliki nilai-nilai keislaman. Setiap bait lagu diselingi dengan ucapan denagn dua kalimat syahadat sehinggan musik gamelan yang mengiringinya dikenal dengan saketan.
d. Sunan Drajat (Maulana Syaifuddin)
Sunan Drajat dikenal sebagai wali yang berjiwa sosial tinggi. Perhatiannya yang demikian besar terhadap masalah sosial sangat tepat karena ia hidup pada saat kerajaan Majapajit runtuh dan rakyat mengalami krisis yaang memprihatinkan. Selain itu, dalam berdakwah ia juga menggunakan media kesenian. Pungkur adalah salah satu ciptaanya.
e. Sunan Giri (Maulana Ainul Yaqin)
Sunan Giri atau Raden Paku merupakan seorang wali yang menyebarkan agama Islam dengan meitikberatkan bidang pendidikan. Ia pernah belajar di Pesantren Ampel Denta dan juga sebagai pendiri Pesantren Giri , beliau merupakan tokoh pemersatu Indonesia di bidang pendidikan agama Islam.
f. Sunan Kalijaga (Maulana Muhammad Syahid)
Sunan Kalijaga merupakan seorang budayawan dan seniman. Karena wawasannya yang luas dan pemikirannya yang tajam, ia tidak hanya disukai oleh rakyat tetapai juga para cendikiawan dan penguasa. Sunan kalijaga berdakwah dengan berkelana. Sarana dakwahnya berupa wayang kulit. Alur cerita dan tokoh wayang memuat nilai-nilai Islam. Dandanggula adalah lagu yang diciptakannya.
g. Sunan Muria (Maulana Umar Said)
Sunan Muria dikenal pendiam, tetapi sangat tajam fatwanya., ia juga dikenal sebagai guru tasawuf. Dalam menyebarkan agama Islam,ia lebih memfokuskan di daerah pedesaan karena ia sendiri tinggal di pedesaan, ia juga menyukai seni. Dua lagu bernuansa Islam, yakni Sinom dan Kinanti. Tembang sinom umumnya melukiskan suasana ramah tamah dan nasihat. Tembang Kinanti bernada gembira digunakan untuk menyampaikan ajaran agama, nasihat, dan falsafat hidup.
h. Sunan Kudus (Maulana Ja’far Shadiq)
Ia mendapat gelar Al ‘ilmi (orang berilmu luas) karena memiliki berbagai ilmu agama, seperti fikih, ilmu tauhid. Karena keahliannya itu ia mendapat kepercayaan dari Kesultanan Demak untuk mengendalikan pemerintahan dan hakim tinggi di wilayah itu. Untuk melancarkan penyebaran Islam,ia membangun masjid di Kudus yang disebut Menara Kudus karena di smapingnya ada menara tempat bedug masjid.
i. Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatullah)
Ia adalah seorang yang sangat berperan dalam penyebaran agama Islam di Cirebon. Ia merupakan cucu Raja Pajajaran yang lahir di Mekah. Setelah dewasa, ia memilih berdakwaah di Jawa dan menggantikan kedudukan pamannya dan berhasi; menjadikan Cirebon sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa Barat.
3. Faktor – faktor Penyebaran dan Pengembangan Agama Islam.
Faktor – faktor yang memengaruhi penyebaran dan pengembangan agama islam adalah sebagai berikut:
a. Perdagangan
Para pedagang yang berasal dari berbagai negeri membentuk komunitas yang disebut dengan perkampungan Pakayon, yaitu kampung yang khusus untuk para pedagang muslim. Disinilah mereka melakukan perdagangan sambil berdakwah.
b. Sosial dan Kemasyarakatan
Salah satu faktor proses penyebaran islam adalah dari segi sosial kemasyarakatan dalam bentuk perkawinan.
c. Pengajaran
Penyebaran agama islam mengalami kemajuan antara lain melalu jalur pendidikan dan pengajaran, seperti sebutan pesantren di Jawa, Surau di Minangkabau, dan Pondok di Semenanjung Malaka.
Selain dari Wali Songo tersebut masih ada para wali lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam penyiaran dan perkembangan agama islam di Pulau Jawa, di antaranya Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dari Demak, Sunan Tembayat di Bayat Klaten, Sunan Geseng di Tirta-Magelang, Syekh Maulana Ishak, Sunan Ngudung, Syekh Syubakir, dan Syekh Qurrotul Ain.
Adapun para wali yang berjasa dalam mengambangkan agama islam di wilayah luar Jawa adalah sebagai berikut.
1. Syekh Samsuddin, telah berhasil menyiarkan dan mengembangkan agama islam di daerah Kalimantan Barat.
2. Datuk Ribandang, telah menyiarkan dan mengembangkan agama islam di daerah Sulawesi.
3. Sunan Giri, telah menyiarkan dan mengembangkan agama islam ke daerah Nusa Tenggara, Banjarmasin, Ternate, dan Maluku, dan daerah-daerah lainnya di samping Pulau Jawa sendiri sebagai pusat kegiatannya.
4. Syekh Burhanudin, telah berjasa dalam menyiarkan agama islam di Ulakan minagkabau.
B. Kerajaan – Kerajaan Islam di Indonesia
1. Kerajaan islam di Jawa
Beberapa kerajaan islam di Jawa yang memengaruhi penyebaran dan perkembangan agama Islam adalah sebagai berikut.
a) Kerajaan Islam Demak (1500-1518 M)
Raden Fatah atau Pangeran Jimbun adalah perintis kerajaan islam di Jawa sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Demak. Ia memerintah pada tahun 1500-1518 M. Pada mulanya Demak adalah pusat pengajaran agama yang dilakukan oleh Raden Fatah. Ia mulai membuka pesantren pada tahun 1475 M atas perintah Sunan Ampel.
Sebelum Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak, ayahnya yang bernama Prabu Kertabumi Brawijaya V menjadi raja di Majapahit pada tahun 1468-1478 M. kemudian pada tahun 1479 Majapahit diserang oleh Prabu Giridra Wardana dari Kediri. Ia berhasil merebut Majapahit dan akhirnya menjadi raja dengan gelar Brawijaya VI tahun 1478-1498 M. pada tahun 1498 Brawijaya ditaklukan oleh Prabu Udara yang bergelar tahun 1498–1517 M. pada tahun 1517 M, Demak berhasil mengalahkan Majapahit pada waktu pemerintahan Brawijaya VII.
Pada tahun 1517 Demak menyerang Majapahit dan berhasil mengalahkan Prabu Udara (Brawijaya VII). Dengan demikian, berakhirlah riwayat Kerajaan Majapahit diganti dengan berdirinya Kerajaan Islam Demak.
Raden Fatah mempunyai gelar Sultah Al-Fatah Alamsyah Akbar. Baru satu tahun Raden Fatah resmi menjadi raja Demak ia meninggal dunia pada tahun 1518 M. Ia meninggalkan Masjid Agung Demak yang pembuatannya dibantu oleh para Wali Songo. Sepeninggal Raden Fatah digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521 M). Adipati Unus terkenal dengan Pangeran Sebrang Lor.
Setelah menjadi raja, ia terkenal dengan sebutan Sultan Demak II. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun. Selama itu ia banyak melakukan peperangan karena banyak pemberontakan. Ia wafat pada 1521 M dan dimakamkan di Demak bersebelahan dengan makam Raden Fatah.
Setelah Pangeran Sebrang Lor meninggal dunia, ia digantikan oleh saudaranya yaitu Sultan Trenggono (1521-1546). Pada masa itu, datang seorang mubalig dari Samudra Pasai bernama Fatahilah atau Fadilah Khan.
Fatahilah diangkat menjadi guru agama di lingkungan istana, penasihat sultan dan panglima tentara Demak. Fatahilah dikawinkan dengan adik Sultan Trenggono yang bernama Nyai Ratu Pembayun. Pada saat itu, Demak semakin maju karena Sultan Trenggono berusaha mengembangkan wilayahnya ke barat ataupun timur karena ancaman Portugis di sebelah barat semakin kuat.
Pada tahun 1522 Portugis sudah memasuki Sunda Kelapa. Kedatangan Portugis selain berdagang, yaitu mengembangkan agama Kristen dan menghancurkan Islam. Kerajaan Islam Demak sangat khawatir melihat Sunda Kelapa akan diduduki Portugis. Pada tahun 1526 M Sultan trenggono menyiapkan tentaranya untuk menyerang Banten dan Sunda Kelapa yang terdiri dari Angkatan Darat dan Angkatan laut. Pemilihan Fatahilah sebagai komandan pasuka sangat tepat karena orang Portugis adalah musuh bebuyutan Fatahilah.
Dalam perjalanannya, tentara Demak singgah di Cirebon. Fatahilah menghadap Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dan menyampaikan maksudnya supaya mendapat bantuan dari tentara Cirebon. Cirebon memberi bantuan pasukan di bawah pimpinan pangeran Cirebon, Dipati Keling dan Dopati Cangkuang. Jumlah pasukan seluruhnya ada 1967 orang yang lengkap dengan persenjataannya. Sebelum menyerang ke Sunda Kelapa, Fatahilah terlebih dahulu menyerang Banten. Tanpa banyak perlawanan, Pelabuhan Banten dapat ditundukkan pada tahun 1526 M. Tahun berikutnya barulah Fatahilah mangadakan serangan ke Sunda Kelapa dan pasukan Pajajaran sudah menghadangnya. Akan tetapi, penhadangan itu dipatahkan dengan mudah. Selanjutnya, pasukan Fatahilah menghadapi perlawanan Portugis yang dimpin oleh Francisco de Sa. Dalam pertempuran ini, tentara Portugis mendapat kekalahan dan sisanya melarikan diri ke Malaka. Dengan hancurnya pasukan Portugis, Pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa di bawah kekuasaan umat Islam. Sunda Kelapa dapat direbut fatahilah pada tanggal 22 Juni 1527 M.
Pada tahun 1646 Demak mengerahkan pasukannya ke Jawa Timur untuk menyerang Pasuruan. Penyerangan ini langsung dipimpin oleh Sultan Trenggono. Dalam pertempuran ini Sultan Trenggono gugur sehingga terpaksa pasukan Demak mengundurkan diri. Pengganti Trenggono ialah putranya yang bernama Sunan Prawoto, ia hanya memerintah satu tahun karena pada tahun 1546 M prawoto terbunuh.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, penyebaran Islam memperoleh perhatian besar. Masijid Demak yang didirikan oleh Raden Fatah direnovasi oleh Sultan Trenggono. Pada masa ini hidup sembilan wali (Wali Songo), yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
b. Kerajaan Islam Pajang (1546-1582)
Setelah Sultan Trenggono meninggal dunia pada tahun 1546 M di Demak terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan Pangeran Sekar Seda ing Lapen (adik Trenggono) dengan Pangeran Prawoto (anak Trenggono). Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawoto mempunyai anak yang bernama Arya Penangsang. Ia merasa bahwa dialah yang berhak menjadi raja Demak, maka ia berusaha membunuh Sunan Prawoto, tetapi gagal dan akhirnya tewas di tangan Adiwijaya.
Dengan tewasnya Arya Penangsang, kekuasaan pindah ke tangan Adiwijaya dan pusat pemerintahan pun beralih dari Demak ka Pajang. Adiwijaya adalah anak Ki Kebo Kenanga dari Tingkir. Oleh karena itu, Adiwijaya disebut Joko Tingkir atau Mas Karebet. Adiwijaya menikah dengan puteri Sultan Trenggono dan diangkat menjadi adipati di Pajang. Adiwijaya membawa panji kebesaran Kerajaan Demak ke istana Pajang. Dalam menjalankan pemerintahannya, Adiwijaya dibantu oleh Ki Gede Panembahan. Selain menjadi Adipati di Mataram Ki Gede Panembahan menjadi komandan pasukan pengawal Panembahan Adiwijaya.
Sewaktu Ki Gede Panembahan mangkat tahun 1575 M, Raden Sutawijaya diangkat menjadi adipati Mataram dan komandan pasukan pengawal Adiwijaya menggantikan ayahnya, dengan gelar Pangeran Ngabehi Lor ing Pasar. Kemudian Raden Sutawijaya dijadikan penglima perang dengan gelar Senopati. Kesempatan ini digunakan untuk memperkuat pasukan di Mataram. Namun rencana ini diketahui oleh Adiwijaya, akhirnya Mataram diserang oleh Pajang yang dipimpin langsung Panembahan Adiwijaya. Dalam peperangan ini pasukan Pajang mendapat kekalahan dan Penembahan Adiwijaya pun tewas dalam pertempuran itu pada tahun 1582 M.
c. Kerajaan Islam Mataram (1582-1601)
Pendiri Kerajaan Islam Mataram ialah Sutawijaya putera Ki Gede Panembahan. Sewaktu Panembahan Adiwijaya meninggal dunia, di Demak terjadi pengangkatan Arya Pangiri menjadi Sultan Demak yang dilakukan oleh para pembesar Demak. Keadaan ini mengakibatkan kemarahan Sutawijaya sebagai Raja Mataram. Oleh karena itu, Sutawijaya memimpin pasukan Mataram dan Pajang untuk menyerang Demak. Arya Pangiri berhasil ditawan, tetapi ia dijadikan adipati lagi di Demak sesuai dengan pangkat yang lama.
Dengan adanya pertempuran antara Metaram dan Demak, maka putra mahkota Kerajaan Pajang yaitu Pangeran Benawa mengetahui kekuatan tentara Mataram. Ia pun tunduk kepada Senopati Sutawijaya. Dengan demikian, maka Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Alogo menambah lagi gelarnya dengan Sayidin Panatogama, artinya pemimpin yang mengatur kehidupan beragama.
Usaha pertama kali yang dilakukan Senopati Sutawijaya ialah memadamkan pemberontakan yang timbul di Jawa Timur, seperti di Surabaya, Ponorogo, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Pada tahun 1601 M ia meninggal dunia, dan sepeninggalannya Kerajaan Mataram makin berkembang terutama pada masa Sultan Agung.
Setelah Senopati Sutawijaya meninggal dunia, pimpinan pemerintahan dilanjutkan oleh Mas Jolang dengan gelar Panembahan Sedo ing Krapyak. Ia memerintah tahun 1601-1613 M. Selama itu, Mas Jolang menyatukan wilayah kekuasaan Mataram yang diganggu oleh pemberontak-pemberontak yang yang tidak mau mengakui kekuasaan pemerintah pusat di Mataram. Akan tetapi, sebelum berhasil membasmi kerusuhan-kerusuhan, ia meninggal pada tahun 1613 M. Kemudian ia digantikan oleh Adipati Martapura. Tidak lama kemudian Adipati Martapura digantikan oleh saudaranya yang bernama Mas Rangsang atau Sultan Agung (1613-1645 M).
Langkah pertama yang dilakukan Sultan Agung ialah memerangi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di pesisir. Pada tahun 1617 M ia dapat menaklukan Mojokerto, Lasem, dan Pasuruan. Menyusul Madura takluk pada tahun 1624 M dan Surabaya tahun 1625 M. Setelah Madura dapat ditaklukan, diangkatlah seorang penguasa untuk seluruh Madura dengan gelar Cakraningrat I.
Setelah menguasai Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat, pada tahun 1622 M ia dapat menaklukan Sukadana di Kalimantan Barat. Pada tahun 1639 M ia berusaha menaklukan Bali, tetapi usahanya gagal dan ia hanya dapat menaklukan wilayah Blambangan.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung penjajah Belanda sudah menguasai Batavia. Hal ini mengakibatkan Sultan Agung bertekad mengusir belanda dari tanah Jawa. Pada tahun 1628 M ia mencoba menyerang Belanda yang berkedudukan di Batavia, tetapi usaha ini tidak berhasil. Angkatan Laut Belanda yang dipimpin oleh J.P. Coen dapat mengusir Sultan Agung dari Mataram.
Cara lain yang diusahakan untuk mematikan Belanda ialah dengan jalan pemboikotan, yaitu rakyat tidak boleh menjual makanan kepada belanda. Akan tetapi, usaha ini tidak berhasil karena tentara belanda lebih kuat dan peralatan perangnya lebih lengkap.
Pada tahun 1645 Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Amangkurat I (1646-1677 M). Semasa pemerintahan Sultan Agung banyak jasanya terutama dalam bidang kebudayaan. Pada tahun 1833 Sultan Agung menciptakan sastra Gending yang berisi pelajaran filsafat.
Adapun raja-raja yang telah memerintah di Mataram adalah sebagai berikut.
1. Sutawijaya ( 1586-1601 M).
2. Mas Jolang (Panembahan Sedo ing Krapyak) 1601-1613 M.
3. Sultan Agung (1613-1645 M).
4. Amangkurat I (1646-1677 M).
5. Amangkurat II (1677-1703 M).
6. Amangkurat III (1703-1705 M).
7. Pakubuwono I (1705-1719 M).
8. Sunan Prabu (1719-1727 M).
9. Pakubuwono II (1727-1747 M).